Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati yang pernah digadang-gadang sebagai simbol kemajuan dan modernisasi wilayah utara Jawa Barat, kini tengah mengalami tantangan berat. Sejumlah pihak menyebut bandara ini dalam kondisi “berdarah-darah” — sebuah metafora yang mencerminkan realitas sulit dari pengelolaan dan operasional bandara yang belum sesuai harapan. Alih-alih menjadi pusat ekonomi baru, bandara ini justru dipenuhi dengan persoalan sepi penumpang, keterbatasan akses, dan minimnya aktivitas penerbangan.
Situasi ini memunculkan seruan dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh daerah, agar pemerintah pusat turun tangan secara langsung untuk menyelamatkan investasi besar yang telah ditanamkan di Bandara Kertajati. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi dengan bandara ini? Dan bagaimana jalan keluar yang bisa ditempuh?
Janji Kertajati di Awal: Bandara Internasional Kelas Dunia
Ambisi Menyaingi Bandara Soekarno-Hatta
Ketika pertama kali diresmikan, Bandara Kertajati membawa semangat tinggi untuk menjadi bandara internasional terbesar kedua di Indonesia setelah Soekarno-Hatta. Lokasinya yang berada di antara Jakarta dan Jawa Tengah diyakini strategis untuk mengurangi beban bandara utama di Ibu Kota dan melayani kawasan timur Jawa Barat seperti Cirebon, Majalengka, dan Indramayu.
Dengan landasan pacu sepanjang 3.000 meter dan luas lahan mencapai lebih dari 1.800 hektar, Kertajati didesain sebagai pusat konektivitas udara bagi kawasan Rebana dan kawasan industri baru.
Rencana Besar yang Terintegrasi
Tak hanya sekadar bandara, Kertajati diproyeksikan menjadi pusat ekonomi terpadu. Diharapkan akan tumbuh kawasan bisnis, perhotelan, logistik, hingga pusat perdagangan. Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan menjadi kebanggaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Namun seiring berjalannya waktu, realita tak seindah narasi. Bandara yang begitu megah justru menghadapi hambatan fundamental yang belum terselesaikan hingga kini.
Masalah Utama: Bandara Sepi, Aktivitas Minim
Jumlah Penumpang Tak Kunjung Naik
Salah satu masalah terbesar Kertajati adalah rendahnya tingkat okupansi penerbangan. Jumlah penumpang tidak pernah mencapai target, bahkan dalam beberapa periode, aktivitas penerbangan nyaris tidak ada. Hal ini membuat bandara seolah hanya menjadi bangunan megah tanpa fungsi optimal.
Salah satu faktor yang memicu sepinya penumpang adalah lokasi bandara yang relatif jauh dari pusat kota besar seperti Bandung atau Cirebon. Ditambah lagi, akses jalan menuju bandara belum sepenuhnya rampung dalam beberapa tahun awal pengoperasiannya.
Maskapai Ogah Terbang dari Kertajati
Minimnya penumpang berimbas pada enggannya maskapai beroperasi dari dan ke Kertajati. Banyak maskapai lebih memilih bertahan di Bandara Husein Sastranegara Bandung atau Bandara Soekarno-Hatta yang lebih menjanjikan secara komersial. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: tidak ada penumpang karena tidak ada maskapai, dan tidak ada maskapai karena tidak ada penumpang.
Beberapa rute internasional sempat dibuka, seperti ke Madinah dan Jeddah untuk penerbangan umrah, namun operasionalnya tidak konsisten dan tergantung musim.
Tokoh-Tokoh Daerah Bersikap: “Ini Saatnya Pemerintah Pusat Turun Tangan”
Dedi Mulyadi: “Kertajati Berdarah, Harus Diselamatkan”
Tokoh senior asal Purwakarta, Dedi Mulyadi, menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi Bandara Kertajati. Menurutnya, proyek ini terlalu besar untuk dibiarkan gagal. “Kertajati itu bandara dengan investasi triliunan rupiah. Ini bukan proyek biasa. Kalau dibiarkan seperti sekarang, ini akan jadi monumen kegagalan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa saat ini dibutuhkan keberanian politik dan langkah nyata dari pemerintah pusat untuk mengintervensi. Mulai dari penataan ulang sistem rute penerbangan, hingga pemberian insentif khusus bagi maskapai yang bersedia membuka rute dari Kertajati.
DPRD Jawa Barat: Perlu Revisi Strategi dan Prioritas
Dari sisi legislatif, sejumlah anggota DPRD Jawa Barat juga mendesak adanya audit menyeluruh terhadap rencana dan implementasi proyek Bandara Kertajati. “Kita tidak bisa terus-menerus berharap bandara ini hidup sendiri. Harus ada penataan ulang strategi, baik dari sisi transportasi, promosi, maupun kebijakan fiskal,” ujar salah satu anggota Komisi IV DPRD Jabar.
Ia juga menyebut perlunya keterlibatan aktif Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN dalam menghidupkan kembali bandara ini.
Infrastruktur Pendukung yang Terlambat
Tol Cisumdawu Jadi Kunci yang Terlambat Hadir
Salah satu alasan utama lambatnya pertumbuhan Bandara Kertajati adalah belum rampungnya Tol Cisumdawu (Cileunyi–Sumedang–Dawuan) yang menjadi akses utama dari Bandung ke Kertajati. Tol ini baru rampung sepenuhnya di akhir 2023, membuat perjalanan dari Bandung ke bandara memakan waktu yang tidak efisien selama bertahun-tahun.
Akibatnya, penumpang dari Bandung lebih memilih terbang dari Husein Sastranegara yang lebih dekat, meskipun bandara tersebut lebih kecil dan terbatas.
Minimnya Transportasi Umum
Ketiadaan sarana transportasi umum yang memadai juga menjadi masalah. Hingga kini, belum ada layanan kereta langsung atau bus reguler yang menghubungkan kota-kota utama dengan Kertajati. Bandara ini hanya bisa diakses dengan kendaraan pribadi atau travel, yang tentu tidak efisien dan menambah beban biaya bagi calon penumpang.
Padahal, sebagai bandara internasional, seharusnya konektivitas menjadi keunggulan utama.
Solusi yang Diusulkan: Sinergi Pusat dan Daerah
Pemindahan Rute Secara Bertahap
Salah satu solusi yang pernah dicoba adalah memindahkan seluruh penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara ke Kertajati. Namun kebijakan ini menuai protes dan tidak berjalan mulus. Kini, usulan pemindahan rute kembali mencuat, namun dengan pendekatan bertahap dan selektif.
Penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier) atau penerbangan umrah dianggap cocok untuk mulai dikonsentrasikan di Kertajati. Ini bisa menjadi langkah awal untuk menghidupkan lalu lintas udara secara konsisten